Jumat, 28 November 2014

Kesetaraan Gender


Kesetaraan gender merupakan salah satu hak asasi kita sebagai manusia. Hak untuk hidup secara terhormat, bebas dari rasa ketakutan dan bebas menentukan pilihan hidup tidak hanya diperuntukan bagi para laki-laki, perempuan pun mempunyai hak yang sama pada hakikatnya. Sayangnya sampai saat ini, perempuan seringkali dianggap lemah dan hanya menjadi sosok pelengkap.  Terlebih lagi adanya pola berpikir bahwa peran perempuan hanya sebatas bekerja di dapur, sumur, mengurus keluarga dan anak, sehingga pada akhirnya hal di luar itu menjadi tidak penting.
Data yang ada menunjukkan bahwa perempuan secara konsisten berada pada posisi yang lebih dirugikan daripada laki-laki. Berikut adalah isu-isu utama/ sejumlah contoh kesenjangan gender di berbagai sektor yang masih perlu diatasi :

 Pola Pernikahan yang merugikan pihak perempuan
Pernikahan dini adalah suatu hal yang lazim di Indonesia, khususnya di daerah pedesaan. Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa 2004 memperkirakan 13% dari perempuan Indonesia menikah di umur 15 – 19 tahun.

Dalam hukum Islam, laki-laki memang diperbolehkan memperistri lebih dari satu orang. Akan tetapi, dalam Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 menyatakan bahwa izin untuk memiliki banyak istri dapat diberikan jika seseorang dapat memberikan bukti bahwa istri pertamanya tidak dapat melaksanakan tanggung jawabnya sebagai istri. Pegawai Negeri Sipil (PNS) Indonesia pun dilarang mempraktekkan poligami.

Hukum perkawinan di Indonesia menganggap pria sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah keluarga. Sedangkan, tugas-tugas rumah tangga termasuk membesarkan anak umumnya dilakukan oleh perempuan.

      Kesenjangan Gender di pasar kerja
Adanya segmentasi jenis kelamin angkatan kerja, praktik penerimaan dan promosi karyawan yang bersifat deskriminatif atas dasar gender membuat perempuan terkonsentrasi dalam sejumlah kecil sektor perekonomian, umumnya pada pekerjaan-pekerjaan berstatus lebih rendah daripada laki-laki.

Asumsi masyarakat yang menyatakan bahwa pekerjaan perempuan hanya sekedar tambahan peran dan tambahan penghasilan keluarga juga menjadi salah satu sebab rendahnya tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan.

      Kekerasan Fisik
Indonesia telah menetapkan berbagai undang-undang untuk melindungi perempuan dari kekerasan fisik. Akan tetapi,  terdapat beberapa bukti yang menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah umum di Indonesia. Menurut survey Demografi dan Kesehatan 2003, hampir 25% perempuan yang pernah menikah menyetujui anggapan bahwa suami dibenarkan dalam memukul istrinya karena salah satu alasan berikut: istri berbeda pendapat, istri pergi tanpa memberitahu, istri mengabaikan anak, atau istri menolak untuk melakukan hubungan intim dengan suami.

            Perdagangan perempuan dan prostitusi juga merupakan ancaman serius bagi perempuan Indonesia, terutama mereka yang miskin dan kurang berpendidikan. Meskipun pelecehan seksual dianggap kejahatan, akan tetapi hal itu umum ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Departemen Kesehatan Indonesia tahun 2004 menemukan bahwa 90% perempuan mengaku telah mengalami beberapa bentuk pelecehan seksual di tempat kerja.

      Hak Kepemilikan
Hukum Perdata di Indonesia menetapkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak kepemilikan yang sama. Perempuan di Indonesia memiliki hak hukum untuk akses ke properti, tanah dan memiliki akses ke pinjaman bank dan kredit, meskipun terkadang masih terdapat diskriminasi di beberapa bagian contohnya: suami berhak untuk memiliki nomor pajak pribadi, sedangkan istri harus dimasukkan nomor pajak mereka dalam catatan suami.

Kesetaraan gender tidak harus dipandang sebagai hak dan kewajiban yang sama persis tanpa pertimbangan selanjutnya. Malu rasanya apabila perempuan berteriak mengenai isu kesetaraan gender apabila kita artikan segala sesuatunya harus mutlak sama dengan laki-laki. Karena pada dasarnya, perempuan tentunya tidak akan siap jika harus menanggung beban berat yang biasa ditanggung oleh laki-laki. Atau sebaliknya laki-laki pun tidak akan bisa menyelesaikan semua tugas rutin rumah tangga yang biasa dikerjakan perempuan.
Pada zaman R.A. Kartini tuntutan akan kesetaraan dan keadilan gender sudah muncul, lebih jauh dari itu semua Islam sudah membahasnya secara jelas dan tuntas. Tuntutan era globalisasi tak bisa dipungkiri menjadi landasan wacana ini muncul. Pada era modern seperti sekarang ini kesetaraan gender telah menimbulkan polemik dan memunculkan pandangan pro dan kontra. Pada hakikatnya peran dan fungsi antara laki-laki dan perempuan jelas berbeda, peran dan fungsi keduanya boleh dikatakan tidak bisa disejajarkan. Apabila keduanya disetarakan dalam semua peran, kedudukan, status sosial, pekerjaan, jenis kewajiban dan hak sama dengan melanggar kodrat. Realita yang ada, tidak bisa dipungkiri bahwa antara laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan-perbedaan mendasar. Secara biologis dan kemampuan fisik, laki-laki dan perempuan jelas berbeda. Dari sisi sifat, pemikiran-akal, kecenderungan, emosi dan potensi masing-masing juga berbeda.Pengertian gender sendiri adalah pembedaan peran, atribut, sifat, sikap dan perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Peran gender terbagi menjadi peran produktif, peran reproduksi serta peran sosial kemasyarakatan.Peran yang ketiga menjadi peran yang lebih besar dan penting. Tentu kita semua tahu dan paham bahwa peran tersebut hanya dimiliki oleh perempuan. Peran dan fungsi antara laki-laki dan perempuan tidak berjalan sendiri-sendiri. Peran dan fungsi dari keduanya harus berjalan bersama apabila peran dan fungsi keduanya berjalan bersama dan saling mengisi maka ibarat kopi dengan gula keduanya akan terasa nikmat dan memberikan efek harmonis.
Kesetaraan gender sering dikaitkan dengan hak asasi manusia, batasan hak asasi manusia sendiri ada dua, yaitu yang dianggap sebagai hak asasi dan resiprositas (hak asasi miliknya tidak menganggu hak asasi orang lain). Cakupan dari hak asasi secara universal berkaitan dengan manusia, cakupan secara relatif dari hak asasi tersebut yaitu norma sosial dan ideologi. Setara tak mesti sama, kesetaraan adalah klaim etis yang berusaha mengatakan bahwa semua manusia berkedudukan setara. Kesetaraan itu lebih kepada praktek penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan.
Isu kesetaraan gender telah menyita perhatian banyak kalangan masyarakat, di atas tadi telah dijelaskan tentang pengertian kesetaraan dan keadilan gender. Realitas yang berkembang di masyarakat baik itu laki-laki maupun perempuan itu sendiri belum memahami bahwa gender adalah suatu konstruksi budaya tentang peran, fungsi dan tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan. Hal itulah yang mengakibatkan kesenjangan peran sosial dan tanggung jawab sehingga terjadi diskriminasi, terhadap laki-laki dan perempuan. Budaya patriarki menjadi faktor utama terjadinya kesenjangan peran dan fungsi antara laki-laki dan perempuan. Penafsiran ajaran agama yang kurang menyeluruh atau cenderung  dipahami menurut tulisan, kurang memahami realitas, dan cenderung dipahami secara sepotong-sepotong dan tidak menyeluruh, menjadi faktor pendukung akan adanya kesenjangan peran dan fungsi serta terjadinya diskriminasi yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan. Kaum perempuan sendiri tidak memiliki kemampuan, kemauan dan kesiapan untuk merubah keadaan tidak secara nyata dilaksanakan.
Di Indonesia sendiri wacana tentang RUU keadilan dan kesetaraan gender telah menjadi perbincangan hangat bagi sebagian orang. Hal tersebut bagi sebagian kalangan masyarakat dipandang sebagai racun atau virus yang disebarkan oleh kalangan liberalis karena hal tersebut akan bermuara kepada kebebasan individu, yang mana hal tersebut merujuk kepada kebebasan individu kaum perempuan. Namun, sebagian kalangan lain yaitu kaum feminisme sangat mendukung dan menuntut akan adanya hal ini.