Kekerasan atas nama agama masih –bahkan semakin- marak di negeri ini. Padahal, terlepas dari berbagai kontroversi yang mengitari sebuah isu, khususnya isu-isu keagamaan, maka kekerasan sama sekali tak diperbolehkan menjadi sarana untuk menyelesaikan kontroversi atau pun masalah umat. Sebab, metode penyelesaian masalah dengan jalur kekerasan bukan tuntunan dari ajaranIslam yang rahmatan lil alamin.
Salah satu isu
yang biasanya dianggap menjadi pemicu konflik antar umat beragama yakni isu
perbedaan ajaran dan pandangan, baik antara umat beragama atau antar sesama Muslim. Isu kerukunan umat beragama di Indonesia masih
didominasi masalah kekerasan yang melibatkan agama. Meski disetiap negara
bercorak plural seperti Indonesia boleh dibilang wajar mengalami benturan atau
ketegangan-ketegangan dalam masyarakat, akantetapi dalam kasus kekerasan yang
terjadi menurut studi tidaklah wajar. Ketidakwajaran itu ditenggarai oleh kejadian
yang berulang-ulang sehingga muncul indikasi pemerintah seolah diam saja dalam
melihat masalah tersebut. ada dua hal penting yang memboncengi tindak
kekerasan yang terjadi, yakni soal keberadaan rumah ibadah dan adanya
pembatalan acara yang diinisiatifkan lembaga-lembaga seperti LGBT ((Lesbian,
Gay, Biseksual, dan Transgender).
Munculnya
dualisme pendapat resmi dan tidak resmi yang mengakibatkan pendapat resmi
dianjurkan dan yang tidak resmi disingkirkan memang terjadi pada semua agama.
Tapi yang ingin saya tanyakan secara spesifik, kenapa itu terjadi dalam agama
Islam?
Pertanyaan
“mengapa” itu, mungkin butuh jawaban panjang. Namun marilah kita mencoba
mencari jawaban yang pendek. Saya kira, ini berkaitan dengan sebuah sikap yang
oleh Nabi selalu ditegur. Yaitu, sikap merasa diri yang paling benar. Karena
merasa paling benar, maka pendapat-pendapat yang bertentangan dengannya
dianggap salah. Karena salah, secara agama harus dihancurkan. Istilah agama
menyebut kesalahan itu bâthil. Sementara, doktrin agama menyebutkan adanya
pertarungan antara haq dengan bâthil seperti disinyalir Alquran:“Wa qul
jâ’a al-haq wa zahaqa al-bhâtil inna al-bhâtil kâna zahûqa” (dan katakanlah: “kebenaran
telah datang, dan kebatilan akan sirna. Sesungguhnya kebatilan itu akan
(selalu) sirna). Ironisnya, tidak jarang yang dianggap benar adalah
pendapat pribadi dia. Pendapat dia dianggap satu-satunya kebenaran.
Pak Alwi Shihab sempat
menyampaikan, bahwa salah satu penyebab terjadinya legalisme dalam Islam adalah
kecenderungan untuk mengangkat pendapat kita yang sangat manusiawi menjadi
sangat Ilahi. Sebetulnya, terkadang yang ada hanya pendapat kita tentang
Alquran dan hadits, tapi lantas kita malah berpendapat itulah Alquran dan
hadits sebenar-benarnya. Kalau orang seperti ini –misalnya—berbeda pendapat
dengan saya, maka saya diklaim bertentangan dengan Alquran dan hadits. Padahal
tak jarang itu hanya pendapat mereka tentang Alquran dan hadits. Kasusnya sama
seperti pendapat orang yang menganggap perlunya mendirikan negara berdasar
syariat Islam. Di situ, syariat dianggap sangat divine (sangat Ilahi). Padahal,
yang kita sebut syariat mungkin sembilan puluh persen sangat manusiawi.
Artinya, syariat adalah pemahaman kita tentang syariat itu sendiri.
Sebagai
contoh, adalah debat tentang pemberlakuan syariat Islam. “Syariat Islam
yang mana yang akan diterapkan di sini?” Sebab, syariat Islam itu sangat
bergantung pada mazhab yang kita anut: apakah syariat Islam ala Taliban, ala PAS di Malaysia, ala NAD di Aceh, Arab Saudi atau Iran? Jadi, penafsiran tentang itu
berbeda-beda. Di situ, saya hanya ingin menyadarkan, bahwa apa yang kita sebut
syariat, kebanyakan lebih manusia ketimbang yang ilahi. Malangnya, terkadang
yang manusiawi itu sudah dianggap ilahi. Bila suatu pendapat sudah kita anggap
sakral dan paling benar, maka setiap orang yang bertentangan dengan kita akan
kita hancurkan karena dianggap bagian kebatilan.